Pemerintah Diminta Ubah Aturan Lelang Proyek Pengadaan PLTS
Konstruksi Media – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai Indonesia perlu melakukan pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) skala besar.
Pasalnya, pembangkit dengan energi matahari tersebut kini menjadi pilihan banyak negara di dunia. Terlebih dalam memenuhi target penurunan emisi yang sesuai dengan Persetujuan Paris.
Meski begitu, kata Fabby, pengadaan harus dilakukan dengan target jelas, proses transparan, dan ditunjang kebijakan yang mendukung kelayakan finansial proyek.
- Komitmen WEGE pada ESG: Keberlanjutan dan Tata Kelola yang Kuat untuk Masa Depan
- Outlook 2025, Semen Merah Putih Inovasi Konstruksi Keberlanjutan
- WEGE Optimistis Capai Target 2024, Raih Kontrak Baru Rp 2,07 Triliun hingga Oktober 2024
“Pelelangan PLTS skala besar di Indonesia sangat terpaku pada ketentuan tata cara pelelangan barang dan jasa yang berlaku juga untuk PLN, yaitu tender umum, tender terbatas, penunjukan langsung, dan pengadaan langsung dengan berbagai ketentuan tambahan misalnya syarat TKDN (tingkat komponen dalam negeri),” ujar Fabby dikutip pada Jumat (20/8/2021).
Lebih lanjut Fabby menjelaskan bahwa metode pelelangan itu kurang cocok untuk mendapatkan harga yang sangat kompetitif untuk pengembangan PLTS skala besar. Menurutnya, proses pengadaan juga sangat ditentukan oleh proses lelang PLN yang tidak terjadwal rutin dan ukuran proyek yang relatif masih kecil di bawah 100 megawatt per unit.
“Perlu dipikirkan perubahan cara lelang untuk PLTS sehingga mendapatkan harga yang kompetitif, kualitas yang prima, dan proyek yang bankable,” katanya.
Sejak 2013, pengadaan PLTS skala besar di Indonesia dilakukan dengan sistem pelelangan. Cara itu belum cukup efektif menurunkan harga beli listrik dari PLTS.
IESR menerbitkan studi terbaru berjudul ‘Hitting Record-Low Solar Electricity Prices in Indonesia’. Studi itu menemukan bahwa salah satu penyebab kurang efektifnya sistem lelang PLTS skala besar di Indonesia adalah belum adanya perencanaan di sistem ketenagalistrikan untuk memanfaatkan energi surya skala besar dalam orde gigawatt.
“Hal itu mempengaruhi volume dan jumlah proyek PLTS yang hendak dilelangkan. Selain itu, praktik pengadaan belum cukup transparan sehingga menyulitkan calon penawar untuk ikut serta dalam proses pelelangan,” ungkapnya.
Selama ini, kata Fabby, lelang tenaga surya di Indonesia masih untuk kapasitas yang berukuran kecil, tersebar, jarang, dan biasanya dilakukan dalam lelang putus atau individual. Sehingga, memberikan sinyal buruk bagi investor atau lembaga keuangan untuk menyediakan modal yang dibutuhkan untuk proyek tersebut.
Tidak hanya itu, kebijakan dan regulasi pendukung di Indonesia terhadap pembangunan PLTS skala besar, terutama dalam proses pelelangan masih kurang menarik atau bahkan menghambat pengembangan instalasi surya.
“Saran saya agar pemerintah belajar pada keberhasilan sejumlah negara yang menerapkan tata cara pelelangan untuk PLTS skala besar. Di antaranya India, Brasil, dan Uni Emirat Arab (UEA) karena mampu mencatatkan beberapa harga pemecah rekor yang ditawarkan oleh penawar lelang,” katanya.
“Persamaan dari ketiga negara tersebut adalah adanya target yang terintegrasi dalam perencanaan sistem ketenagalistrikan dan pelelangan yang dilakukan secara terjadwal,” lanjutnya.
IESR, lanjut Fabby, merekomendasikan agar pemerintah mereplikasi keberhasilan ketiga negara tersebut dengan menetapkan target yang ambisius dan jelas. Seperti, program surya nasional yang terintegrasi dengan perencanaan sistem ketenagalistrikan untuk dilakukan pengadaan melalui pelelangan terencana.
“Program surya nasional yang terintegrasi dan dapat dieksekusi menunjukkan komitmen pemerintah untuk pengadaan PLTS skala besar. Hal ini mengirimkan sinyal positif kepada pemain internasional jangka panjang dalam energi surya dan menciptakan pasar PLTS yang kompetitif di Indonesia,” pungkasnya.***