Masih Danai Proyek Batubara, BNI Dituding Ciptakan Bencana Ekologi
Konstruksi Media – Sebuah unggahan di Instagram dengan flayer bertuliskan “BNI ini nggak asik, suka kasih investasi ke industri fosil yang jelas-jelas merusak iklim” menjadi sorotan.
Salah satu penggiat lingkungan hidup, Firdaus Cahyadi menilai, langkah Bank Nasional Indonesia (BNI) dalam mendanai proyek-proyek batubara akan membawa bencana ekologi bagi masyarakat Indonesia.
Apalagi tahun ini, BNI sudah berusia 75 tahun. Sebuah usia yang tidak muda lagi bagi sekelas korporasi perbankan.
- Komitmen WEGE pada ESG: Keberlanjutan dan Tata Kelola yang Kuat untuk Masa Depan
- Outlook 2025, Semen Merah Putih Inovasi Konstruksi Keberlanjutan
- WEGE Optimistis Capai Target 2024, Raih Kontrak Baru Rp 2,07 Triliun hingga Oktober 2024
“Di usia yang tidak lagi muda itu, tentu bank papan atas milik negara itu lebih bijak dan rasional dalam mengambil keputusan. Keputusan yang rasional dan bijak itu tentu saja terkait kelanjutan bisnis masa depan,” ujar Firdaus Cahyadi di Jakarta, Selasa (27/7/2021).
Dari laporan lembaga urgewald yang berbasis di Jerman, ungkap Firdaus, ada 6 bank nasional Indonesia tercatat masih memberi pinjaman ke perusahaan batu bara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020, selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020.
Keenam bank nasional tersebut antara lain Bank Mandiri, BNI, BRI, BCA, BTN, dan Indonesia Eximbank. Dalam laporan ini, BNI telah mendanai proyek tidak ramah lingkungan hingga USD 2000 juta selama 2018-2020.
“Ini agak ironis sebenarnya. Bagaimana tidak, salah satu kewajiban negara dalam menghadapi krisis iklim adalah menyelamatkan warganya dari bencana ekologi yang mengancam kehidupan,” kata Firdaus.
Namun, tegasnya, BNI sebagai bank milik negara justru mendanai proyek-proyek yang mempercepat terjadinya bencana ekologi itu.
Dia berharap, BNI segera mengambil keputusan yang strategis. Apakah bank plat merah itu akan terus melanjutkan pendanaan proyek-proyek batu bara atau memilih mendanai proyek-proyek yang lebih ramah lingkungan.
“Jika pilihan BNI ternyata jatuh pada tetap melanjutkan pendanaan proyek-proyek batu bara, maka itu secara jangka panjang bukan hanya membahayakan bisnis BNI namun juga mengancam keselamatan alam beserta kehidupan yang ada di dalamnya,” tuturnya.
Lebih lanjut Firdaus mengungkapkan, bisnis perbankan di masa depan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Salah satu tantangan terberat itu adalah datangnya bencana ekologi besar berupa perubahan iklim.
“Bencana ekologi itu akan meluluhlantakan semua capaian-capaian ekonomi. Baru-baru ini, banjir bandang telah menghantam Tiongkok dan Jerman,” imbuhnya.
Banjir itu, kata Firdaus, disebabkan karena curah hujan dengan intensitas tinggi, lebih dari yang biasa terjadi sebelumnya. Sementara sebagian Amerika Serikat juga dilanda gelombang panas. Gelombang panas itu telah menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit.
“Indonesia pun mengalami krisis iklim. Berdasarkan data BNPB, di 2020 telah terjadi 2.925 bencana di Indonesia, yang didominiasi bencana hidrometeorologi. Dengan rincian, kejadian banjir sebanyak 1.065 kejadian, angin puting beliung sebanyak 873 dan tanah longsor 572 kejadian,” tegasnya. ***