Giant Sea Wall, Efektifkah Mengatasi Persoalan Banjir Rob di Pantura Jawa?
Sejak awal, proyek Giant Sea Wall Jakarta seperti hendak meniru tanggul laut Belanda, negeri yang sebagian besar daratannya di bawah permukaan laut.
Konstruksi Media, Jakarta – Banjir rob dan penurunan muka tanah (land obsidence) mengintai wilayah pesisir pantai utara (pantura) Pulau Jawa. Diketahui, kawasan pantura Jawa menyumbang sekitar 20,7 persen PDB melalui kegiatan industri, perikanan, transportasi, dan pariwisata.
Di samping itu, wilayah pantura juga merupakan tempat tinggal penduduk yang cukup padat, dengan estimasi jumlah penduduk lebih dari 50 juta jiwa.
Namun, ancaman banjir rob dan penurunan muka tanah tak hanya membahayakan keberlangsungan aktivitas ekonomi di sana, tetapi juga kehidupan puluhan juta masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, yang berpotensi dapat terkena dampak bencana dari climate change itu.
Salah satu upaya yang akan dilakkan pemerintah untuk mengatasi persoalan penurunan permukaan tanah dan banjir rob ialah membangun tanggul pantai dan tanggul laut (Giant Sea Wall).
Giant Sea Wall adalah istilah yang merujuk pada proyek-proyek infrastruktur besar yang dibangun di sepanjang garis pantai untuk melindungi wilayah daratan dari ancaman banjir akibat gelombang laut tinggi atau badai.
Proyek ini melibatkan pembangunan struktur penahan air laut yang tinggi dan kuat untuk mengurangi dampak serangan gelombang laut. Giant Sea Wall paling terkenal terletak di Teluk Jakarta. Proyek ini dibangun untuk mengatasi banjir dan serangan air laut.
Adapun rencana proyek ini sudah ada sejak Indonesia masih dipimpin Presiden ke-2 Soeharto dan saat itu DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur Soerjadi Soedirdja. Jadi, proyek ini sudah direncanakan sejak tahun 1994, puluhan tahun lalu.
Melansir laporan Kompas, sejak awal, proyek Giant Sea Wall Jakarta seperti hendak meniru tanggul laut Belanda, negeri yang sebagian besar daratannya di bawah permukaan laut.
Tanggul laut raksasa di Belanda dibangun setelah negeri kincir angin itu dilanda badai laut berketinggian air 30 meter pada 1953. Peristiwa ini menewaskan 1.835 orang dan memaksa 110.000 warga mengungsi.
Widodo Pranowo, peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengatakan, proyek itu akan berdampak ekologis, bukan hanya terhadap pesisir Jakarta dan Kepulauan Seribu, melainkan juga hingga Banten.
”Tanggul ini bisa menjadi comberan raksasa,” katanya.
Selain itu, tanggul akan menyebabkan perubahan arus laut dan akan menggerus beberapa pulau di Pulau Seribu, salah satunya Pulau Onrust.
Adapun dampak di pesisir Serang, Banten, seperti dikemukakan Kepala Kelompok Peneliti Kerentanan Pesisir KKP Semeidi Husrin, berpotensi merusak pesisir Banten karena pasir reklamasi Teluk Jakarta dari Banten. Jadi, seharusnya yang dipikirkan terlebih dahulu adalah menata air di hulu, bukan bendung di hilir.
Sebagai informasi, Giant Sea Wall menjadi salah satu proyek strategis nasional (PSN) yang akan dibangun pemerintah dalam tiga fase.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan rencana pemerintah untuk membangun Giant Sea Wall sebagai salah satu megaproyek jangka panjang.
“Pemerintah telah menyiapkan skenario jangka panjang untuk memitigasi risiko bencana perubahan iklim di pantura Jawa melalui konsep pembangunan giant sea wall atau tanggul laut,” kata Airlangga dalam acara seminar nasional di Jakarta, Rabu (11/1/2024) dikutip dari Antara.
Untuk proyek giant sea wall di wilayah Jakarta, ada tiga tahapan atau fase pembangunan. Fase pertama dimulai dengan pembangunan tanggul pantai dan sungai, serta pembangunan sistem pompa dan polder di wilayah Pesisir Utara Jakarta.
Kemudian fase kedua, pembangunan tanggul laut dengan konsep terbuka (open dike) pada sisi sebelah barat pesisir utara Jakarta yang harus dikerjakan sebelum tahun 2030.
Fase ketiga, pembangunan tanggul laut pada sisi sebelah timur pesisir utara Jakarta yang harus dikerjakan sebelum tahun 2040. Jika laju penurunan tanah tetap terjadi setelah tahun 2040, maka konsep tanggul laut terbuka akan dimodifikasi menjadi tanggul laut tertutup.
Berdasarkan beberapa kajian, Menko Airlangga menyampaikan estimasi kerugian ekonomi secara langsung akibat banjir tahunan di pesisir Jakarta mencapai Rp 2,1 triliun per tahun, dan dapat meningkat terus setiap tahunnya hingga mencapai Rp10 triliun per tahun dalam 10 tahun ke depannya.
Sedangkan estimasi kebutuhan anggaran untuk proyek fase pertama sebesar Rp164,1 triliun. Pembiayaan proyek menggunakan skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).